Sugeng sonten para kadang sedanten..
Untuk posting "menjurus" pertama kali saya akan mengupas Norma atau peraturan atau larangan A.K.A Gugon Tuhon yang pada masyarakat jawa seringkali tidak diketahui sumbernya selain "jarene mbahe"
Gugon Tuhon adalah salah satu fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat jawa. Masyarakat jawa dengan segala keyakinannya tentang
hal-hal mistis pada akhirnya mempunyai mitos yang dipercaya secara
kolektif dalam bentuk larangan-larangan dan nasehat-nasehat irrasional.
Sebuah keyakinan irrasional ini disebut sebagai gugon tuhon, Kata gugon berasal
dari kata gugu + an, artinya mudah sekali percaya pada perkataan orang
lain atau dedongengan ‘cerita dongeng’. Kata tuhon berasal dari kata tuhu + an,
artinya nyata; setia; sifat yang mudah percaya atau percaya kepada
ucapan (dongeng) orang lain (Poerwadarminta, 1939: 611).
Secara umum faktor yang menjadikan adanya gugon tuhon ini adalah
kepercayaan masyarakat jawa yang masih dipengaruhi oleh animisme dan
dinamisme. Kebiasaan berpikir tentang hal mistis pada setiap benda dan
peristiwa membentuk sebuah upaya untuk menghindari dan melakukan hal-hal
konyol dan irasional seperti larangan untuk tidur di sore hari dan
anjuran untuk menabuh pohon kelapa saat terjadi gerhana. Secara khusus
ada faktor faktor tertentu yang kemudian menjadikan apa yang diucapkan
oleh orang-orang tua jawa mengandung fakta dan dampak yang nyata. Bahkan
beberapa orang menunjuk sisi positif dalam setiap ungkapan dan nasihat
orang-orang jawa.
Menurut Subalidinata (1968:16 ) jenis gugon tuhon itu ada tiga macam yaitu :
a. gugon tuhon salugu
b. gugon tuhon kang isi pitutur sinandi
c. gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler
Gugon tuhon salugu itu mirip dengan cerita atau dongeng kuno, yaitu anak
(bocah dalam bahasa Jawa) yang termasuk golongan anak sukreta ‘tidak
baik/kotor’ dan orang termasuk golongan panganjam-anjam ‘terancam’ itu
akan menjadi mangsa atau makanannya Bethara Kala. Supaya anak-anak dan
orang-orang terhindar dari atau sebagai mangsa Bethara Kala harus
diruwat ‘disucikan’ dan sebagai sarana dipentaskan pula wayang kulit
dengan lakon “Amurwakala”.
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat
yang tersembunyi/baik’, sebenarnya gugon tuhon tersebut memuat ajaran.
Namun, ajaran itu tidak jelas, cuma disamarkan. Pada umumnya orang,
kalau sudah dikatakan tidak baik atau ora ilok, kemudian takut
melanggar. Sebenarnya larangan itu bertujuan untuk ajaran (kawruh),
supaya tidak menjalankan berupa tindakan yang melanggar yang disebutkan
dalam larangan itu. Larangan itu berisi nasehat, misalnya: lire wong
mangan karo ndhodhok, yen dinulu saru ‘baiknya orang makan sambil
jongkok itu tidak sopan’, maksudnya orang yang sedang makan sambil
jongkong itu tidak nyaman atau tidak sopan dan bisa jadi makanan yang
sedang dibawanya akan jatuh.
Gugon tuhon kan kalebu pepali utawa wewaler ‘gugon tuhon yang termasuk
larangan’ gugon tuhon yang berisi nasehat larangan, sebenarnya gugon
tuhon tersebut memuat ajaran. Ajaran itu jelas dengan adanya sangsi
ketika dilanggar. Misalnya : wong-wong kang manggon ing desa Klepu
(kulon jogja) ora kena nanggap wayang kulit, sebab jaman dulu tiap orang
itu nanggap ‘mengadakan tontonan’ wayang kulit, setelah selesai
pertunjukkan akan meninggal. Kemudian juga pernah terjadi, rumah yang
digunakan untuk pertunjukkan wayang kulit tersebut dilempari batu, namun
tidak ada yang tahu siapa yang melempari. Sehingga sampai sekarang
orang-orang yang yang ada di desa Klepu merasa takut mengadakan
tontonan/pertunjukkan yaitu wayang kulit.
Gugon tuhon kang isi pitutur sinandi ‘gugon tuhon yang berisi nasehat
yang tersembunyi/baik’ adapun pembahasannya sebagai berikut:
1. Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene
Aja ngidoni sumur, mundhak suwing lambene ‘jangan meludahi sumur, karena
dikawatirkan akan sumbing bibirnya’. Meludahi sumur akan sumbing
bibirnya merupakan bentuk irasional/tidak logis. Sedangkan secara
rasional, ludah itu kotor, dan air sumur yang baik harus dalam keadaan
bersih yang berguna untuk memasak, minum, mandi dan sebagainya. Bila air
sumur diludahi maka akan menjadi kotor dan tidak baik untuk
dipergunakan sehari-hari.
2. Aja lungguh bantal, mundhak wudunen
Aja lungguh bantal, mundhak wudunen ‘jangan duduk diatas bantal, karena
dikawatirkan akan bisulan‘. Secara irasioal bantal yang diduduki karena
dikawatirkan akan bisulan, sedangkan secara rasional, bantal merupakan
tempat untuk kepala (sirah) – waktu manusia tidur – kemudian dipakai
untuk pantat/bokong, hal tersebut tidak pantas dilakukan.
3. Simpen lampit diedegake
Simpen lampit diedegake ‘menyimpan pisau diberdirikan’. menyimpan pisau
dengan cara diberdirikan akan mengawatirkan, sebab jika ada anak kecil
(bocah) yang kesitu dapat karubuhan/terkena pisau.
4. Wong ngandhut lungguh tampah
Wong ngandhut lungguh tampah ‘orang yang sedang hamil duduk di tampah’.
Orang yang sedang hamil duduk di tampah itu ora ilok. Secara rasional
kalau tampah itu di duduki orang yang sedang hamil akan jebol atau
rusak, dan bisa mengganggu kesehatan orang yang sedang hamil. Bahkan
bila tampah diduduki oleh siapapun logikanya akan rusak karena fungsi
tampah bukan untuk diduduki.
5. Nyapu bengi
Nyapu bengi ‘menyapu pada malam hari’. Menyapu pada malam hari itu tidak
baik karena menyapu pada malam hari tidak bersih serta mbledugi yang
sedang tidur, atau bisa jadi menyapu dimalam hari, kotoran yang disapu
tidak tampak jelas dikhawatirkan tidak bersih.
6. Mbuwang uwuh aneng longan
Mbuwang uwuh aneng longan ‘membuang sampah di bawah kasur’. Itu pastinya
tidak baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa
menjadikan bau tidak sedap/tidak enak, bisa juga kondisi seperti itu
untuk sarang bibit penyakit.
7. Nyapu diendheg ana tengah lawang
Nyapu diendheg ana tengah lawang ‘menyapu berhenti di tengah lawang’.
Ingatlah pintu itu kan jalan, kalau ada uwuh ‘kotoran/sampah’ pasti
tidak enak dilihat atau kesannya rumah tidak bersih.
8. Ngandhang kebo ana ing njero omah
Ngandhang kebo ana ing njero omah ‘merumahkan kebo di dalam rumah’ itu
mestinya tidak baik. Secara irasional, kebo yang ada di dalam rumah akan
mengurangi rejeki bahkan biasa jadi akan menolak rejeki yang datang.
Sedangkan secara rasional, bau atau aroma kotoran kebo akan memenui
rumah, bisa juga makanan yang mau dimakan manusia terkena kotoran
sehingga kurang baik untuk tubuh manusia (kurang sehat).
Lebih jauh tentang gugon tuhon akan menyangkut berbagai aspek dalam
khazanah kebudayaan jawa termasuk interelasinya dengan nilai-nilai
religius agama islam. Juga dengan implikasinya pada kehidupan masyarakat
jawa sendiri serta bagaimana gugon tuhon ini dapat bertahan dalam
masyarakat modern sekarang ini.
Interelasi Gugon tuhon dengan nilai-nilai islam
Pengaruh hindu, Budha, islam, dan segala bentuk colonial juga mewarnai
kehidupan takhayul orang Jawa. Berbagai unsure budaya spiritual yang
masuk ke Jawa diadopsi pelan-pelan , hingga seakan-akan menjadi milik
orang Jawa. Maka, tak jarang orang Jwa yang masih memiliki keyakinan
pada dewa, hantu, ramalan (eskatologi), kosmogoni, dan lain-lain.
Raja-raja tempo dulu, dianggap sebagai titisan para dewa. Raja-raja
tersebut dianggap memiliki kemampuan lebih, antara lain dapat
berhubungan langsung dengan hantu. Takhayul seperti itu dari waktu ke
waktu menjadi sebuah mitos yang lekat di hati masyarakat.
Gugon tuhon sebagai sebuah budaya tentu saja mengalami proses sinkretis
dengan budaya-budaya islam. terdapat beberapa sisi dari gugon tuhon yang
sudah umum dalam masyarakat. Diantaranya adalah bentuk-bentuk larangan
yang berkaitan dengan kesucian tempat seperti kuburan, masjid,
alquran,dan lain sebagainya. Orang jawa sering mengaitkan prinsip atau
nilai-nilai islam dengan sesuatu yang mudah diingat. Contohnya adalah
tentang roh-roh halus.
Takhayul orang Jawa terhadap kekuatan roh, benda-benda, tumbuhan, hewan,
manusia yang bersifat animistis merupakan bentuk keyakinan asli yang
pertama kali. Sebelum orang Jawa percaya pada hal-hal lain yang
dipandang rasional, orang jawa puritan sebenarnya telah meyakini dinia
irasional. Roh para leluhur, mereka anggap memilki sebuah pengalaman
sakti yang akan memberikan berkah tersendiri bagi generasi berikutnya.
Paradigma pemikiran gugon tuhon memang amat pelik. Oleh karena gugon
tuhon itu sebuah wacana “batin” yang sifatnya subjektif. Gugon tuhon
baru menjadi jelas ketika telah muncul dalam fenomena. Begitu pula gugon
tuhon orang jawa pada hantu, boleh dipercaya boleh tidak, karena
pembuktianya juga rumit. Gugon tuhon itu sendiri sebuah teks budaya yang
memiliki (fleksibel cnstruktion).
Prosesi ritus kematian pada masyarakat Jawa tradisional, biasanya
diumumkan dengan cara gethok tular (pemberitahuan dari mulut ke mulut
dan dari pintu ke pintu). Pemberitahuan ini disebut ngabari
(memberitahukan) atau nglayati. Untuk mendukung kabar juga igunakan
kenthongan dengan bentuk bunyi kenthong cugag, yaitu benyi kenthongan
tiga kali-tiga kali. Pada saat mendengar beita kematian, orang Jawa
sudah sering mencoba menghubungkan dengan tanda-tanda sebelumnya,
seperti bunyi burung kolik dan burung gagak. Jika burung ini berbunyi
berkali-kali, mereka bertanya-tanya siapa yang akan segera meninggal.
Saat itu pula, mereka meyakini bahwa kematian terjadi dan segera dating
ke tempatnya.
Orang yang datang takziah (melayat) seing disebut pembelasungkawa. Pada
saat melayat, biasanya dilarang bersendagurau. Suasana harus kidmat dan
menunjukan rasa susah yang dalam. Orang yang datng ada yang membantu
memasukan uang ditempat (kotak) yang telah disediakan, lalu tangannya
dibersihkan wijik pada wijikan yang diberi daun dadap. Para pelayat ada
yang langsung pulang, ada pula yang menunggu sampai penguburan selesai.
Jika pulang, mereka harus mandi besar (grujug) untuk menghilangkan sarap
sawan (hal-hal yang tidak di inginkan).
Implikasi pada kehidupan masyarakat
Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam masyarakat Jawa dapat
dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada) yang menjelaskan bahwa
gugon tuhon merupakan pengetahuan yang tidak rasional atau tidak dapat
dipahami oleh rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak
dapat dipahami rasio dan memiliki bentuk pemikiran dan ekspresi tentang
kebenaran yang mutlak didalam suatu masyarakat. Ekspresi dan pemikiran
yang tidak rasional ini kemudian membentuk suatu perilaku dalam
kehidupan masyarakat dan menjadi suatu budaya dalam hal ini budaya jawa.
Kemudian berdasarkan aspek epistemologis (kebenaran dan kepastian),
gugon tuhon dipahami sebagai ungkapan kebenaran yang dapat diperoleh
melalui hasil aktivitas budi (pikiran), pengetahuan, pengalaman, dan
pemahaman yang mendukung ungkapan-ungkapan gugon tuhon menjadi
perwujudan budaya Jawa.
Gugon tuhon dalam masyarakat modern
Dalam masyarakat modern gugon tuhon berubah menjadi pitutur yang secara
otomatis mempunyai nalar positif. Melihat orientasi masyarakat modern
sangat bergantung pada aspek pragmatis tanpa mengindahkan sisi-sisi
mistisnya maka kita bisa melihat gugon tuhon dari aspek aksiologisnya.
Kegunaan utama dari gugon tuhon dalam budaya Jawa adalah memberi
pengaruh yang baik terhadap masyarakat Jawa melalui ungkapan-ungkapan
gugon tuhon tersebut yang secara langsung juga membentuk citra pancaran
atau pengejawantahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita,
ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan
kebahagiaan hidup lahir batin.
Jadi Gugon tuhon merupakan bentuk pancaran atau pengejawantahan budi
manusia Jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam
mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup lahir batin
dalam kebudayaan Jawa. Gugon tuhon dapat dipahami secara irasional
maupun rasional yang pada intinya memberikan ajaran atau nasihat yang
baik. Secara filosofis, keberadaan gugon tuhon dalam budaya Jawa
tersebut dapat dilihat dari aspek ontologis (tentang yang ada),
epistemologis (kebenaran dan kepastian), dan aksiologis (kegunaan ilmu
pengetahuan).
Dapat disimpulkan bahwa takhayul (gugon tuhon) menjadi pijakan
kejiwaan (kerohanian dan kebatinan). Atas dasar system kejiwaan ini
orang Jawa mengenal berbagai alam hidup diluar dirinya. Alam hidup yang
sering di pandang istimwa dalam takhayul adalah alam kodrati. Alam ini
berada di atas rata-rata kejiwaan manusia normal. Karena itu, hanya
masyarakat jawa yang gemar pada pemikiran supranormal yang mampu
menggapai dunia adikodrati. Oleh karena alam adikodrati itu lebih
eksklusif, orang Jawa mengasumsikan bahwa alam tersebut tergolong jagat
sacral yang patut mendapat perhatian khusus. Keengganan untuk melanggar
dari segal mitos , takhayul, dan kepercayaan tersebut adalah
konsekuensinya. Meskipun tidak dibarengi dengn pikiran-pikiran rasional
atau logis.
DAFTAR PUSTAKA
Endaswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen. Jogjakarta: Narasi.
Herusatoto, Budiono. 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widia.
Sujamto. 1991. Refleksi Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Poerwadarminta, W.J.S.1939. Baosastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters
No comments:
Post a Comment